Beritaindonesia.co - Penghayat Kepercayaan meminta Mahkamah Konstitusi (MK) agar
keyakinannya bisa masuk dalam kolom agama di KTP. Untuk meyakinkan 9 hakim
konstitusi, para pemohon mengajukan ahli, salah satunya pakar filsafat hukum
UI, Sidharta.
Dalam pemaparannya, Sidharta menceritakan sejarah politik
hukum Indonesia terhadap keberadaan suatu agama. Pengakuan itu acapkali
tergantung situasi dan kondisi politik saat itu. Ia mencontohkan agama Kong Hu
Chu, yang sempat tidak diakui di era Orde Baru, kemudian diakui di era
reformasi.
"Jadi, sebetulnya agama mana yang disebut diakui dan
tidak diakui, kadang-kadang juga tergantung kepentingan politik juga,"
kata Sidharta yang dikutip detikcom dari risalah sidang pada website MK, Jumat
(5/5/2017).
Hingga hari ini, belum ada definisi apa yang dimaksud agama,
baik dalam UU maupun dalam peraturan lainnya.
"Definisi agama sendiri kita belum punya," ujar
Sidharta dalam sidang pada 2 Februari 2017 lalu.
Menyitir pendapat Brian Tanamaha, negara hukum dibagi
menjadi negara hukum formal dan negara hukum material. Nah, pengakuan negara
terhadap keyakinan warganya, merupakan syarat hadirnya negara material.
"Pada tingkat yang lebih tebal, ada negara hukum yang
nyata-nyata sudah sampai pada rights of dignity and/or justice yang ditandai
antara lain dengan rendahnya tingkat korupsi. Sementara pada tingkat yang
paling tinggi lagi, ada negara hukum yang secara riil memberi kesejahteraan
bagi masyarakat dan komunitas pengikuti pendukungnya," papar Sidharta.
Ahli lainnya, Samsul Marif menyatakan kolom agama baru masuk
KTP pada era Orde Baru. Tepatnya setelah lahirnya TAP MPR Nomor 4/1978 yang
menyatakan bahwa kepercayaan bukanlah agama, melainkan kebudayaan. TAP ini juga
mengharuskan adanya kolom agama (yang wajib diisi dengan satu di antara 5
agama) dalam formulir pencatatan sipil.
Momen inilah yang paling berimbas terhadap nasib aliran
kepercayaan.
Baca juga: Ketua MK: Kenapa Agama dari Asing Diakui, Kalau
dari Leluhur Tidak?
"Pada periode kedua Orde Baru, mulai 1978, agama mulai
'diresmikan', saya pakai tanda kutip, karena ini politik," ujar Samsul,
yang mengajar mata kuliah Indigenous Religions (Agama-agama Lokal) di CRCS.
Sidang gugatan itu atas permohonan Nggay Mehang Tana, Pagar
Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim. Mereka menggugat Pasal 61 ayat 1 dan
ayat 2 UU Administrasi Kependudukan ke MK. Pasal tersebut berbunyi:
Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak
diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
Loading...