Beritaindonesia.co - Kasus dugaan penistaan agama yang menjerat Gubernur DKI
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tinggal menunggu vonis hakim. Jelang putusan,
petisi meminta hakim membebaskan Ahok digaungkan.
Penggagas petisi itu adalah sejumlah alumni Universitas
Harvard, di antaranya adalah Bambang Harymurti dan Dini Purnowo. Seperti
diketahui para alumni Harvard ini membuat situs
Selain lewat situs, mereka menyuarakan permintaan agar Ahok
dibebaskan dalam diskusi Pojok Tanah Abang Solidarity Lecture yang digelar di
basecamp DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Jl Wahid Hasyim, Kampung
Bali, Jakarta Pusat, Kamis (4/5/2017). Diskusi tersebut bertajuk "Setelah
Pilkada Usai: Menimbang Keadilan Kasus Ahok".
Pembicara lainnya di antaranya ketua Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Rumadi, dan
novelis perempuan Okky Madasari.
"Poinnya adalah supremasi hukum, masalahnya banyak
ancaman dari mobokrasi," ungkap Bambang Harymurti yang pernah menghadapi
peradilan saat menjadi pemimpin redaksi Majalah Tempo.
"Kasus Ahok ini melampaui persoalan pilkada, sebagai
jurnalis kami berpegang teguh pada veritas (kebenaran)," imbuh Bambang.
Bambang menyayangkan berkembangnya tafsir keagamaan yang
makin radikal. Di sisi lain, kata Bambang, Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) memblokir akses ke situs-situs bermuatan tafsir yang
progresif.
"Pada masa Nazi, kekuatan propaganda sangat efektif,
kalau ada yang mau melawan akan digeruduk secara fisik," kata Bambang
mengingatkan.
"Kita harus stand up untuk melawan, kejahatan berkuasa
karena orang-orang baik berdiam diri," pesan Bambang.
Mengutip Vaclav Havel, Bambang mengatakan perjuangan paling
berat adalah melawan malas dan lupa. Sedang menurut Aung San Suu Kyi, masih
kata Bambang, yang lebih berbahaya adalah ketakutan.
Dini Purnowo mengatakan pasal-pasal yang digunakan dalam
kasus Ahok adalah pasal karet. "Jangan sampai kasus Ahok jadi preseden
buruk, kami membuat petisi untuk menampung aspirasi banyak pihak," jelas
Dini.
Menurut Okky Madasari, sebelum kasus Ahok sudah ada preseden
jauh sebelumnya. "Pada 1968 majalah sastra Horison didemo-demo hanya
gara-gara cerpen, lalu kasus Arswendo. Sebagai penulis fiksi saya bisa
merasakan situasi yang sama," kata Okky.
Novel Okky pun pernah ditarik penerbit besar karena
menyinggung FPI. "Kebebasan berekspresi tidak dilindungi," keluh
Okky.
Rumadi bicara soal pasal tentang penistaan agama yang pernah
digugat ke Mahkamah Konstitusi. "Pasal 156a tentang penistaan sudah dua
kali digugat ke Mahkamah Konstitusi, tapi ditolak, bahkan ditambah tafsirnya ke
perlindungan umat beragama," papar Rumadi.
"Kasus Ahok ini mirip Yusman Roy, setelah tidak
terbukti menista agama lalu diganti pasal dakwaannya," kata Rumadi.
Riset Wahid Institute menunjukkan selalu ada keterlibatan
massa dalam kasus-kasus penistaan agama. "Pasal-pasal itu bicara tentang
perasaan, siapa memobilisasi akan menguasai ruang publik," kritik Rumadi.
Menanggapi diskusi, pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL)
Luthfie Assyaukanie menilai kasus Ahok muncul karena campur baur berbagai
kepentingan. "Konservatisme agama sebetulnya tidak bermasalah kecuali ada
yang memobilisasi, ada unsur-unsur politik, ada pengusaha yang dirugikan. Hal
itu sangat berbahaya, harus kita lawan," ungkap Luthfie.
Mantan juru bicara Presiden Gus Dur, Wimar Witoelar, mengaku
awalnya takut melihat kecenderungan menguatnya ide-ide negara Islam.
"Tetapi melihat banyak orang mengirim karangan bunga, pawai-pawai
mendukung NKRI, bangkit silent majority," kata Wimar. Menurut Wimar,
jangan sampai pemilu mendatang jadi arena mengganti Merah Putih menjadi Suriah.
Dosen Komunikasi UI yang pernah terjerat kasus penistaan
agama, Ade Armando, menegaskan masyarakat tidak perlu pesimistis. "Masih
cukup banyak orang yang bersuara, diskursus dibentuk oleh pengetahuan, sedang
pengetahuan adalah kekuatan, orang-orang tidak boleh diam," kata Ade.
Sekretaris Jenderal (Sekjen PSI) Raja Juli Antoni menilai
aroma politik sangat kencang dalam kasus Ahok. "Masih ada yang belum move
on, tidak puas kalau Ahok tidak dipenjarakan, padahal proses elektoral lalu
adalah pertarungan untuk memilih pelayan publik. Bagi PSI, ini lebih dari soal
Ahok, tetapi tentang demokrasi dan kebebasan berekspresi," ujar Toni.
Lebih jauh soal petisi, berikut 26 nama alumni Harvard yang
menjadi inisiator "Ahok Tidak Menista Agama":
1. Bambang Harymurti, Mason Fellow, Fulbright Scholar,
Harvard Kennedy School, MPA 1991
2. Goenawan Mohamad, Nieman Fellow 1990, Harvard University
3. Yenny Wahid, Mason Fellow, Harvard Kennedy School, MPA
2003
4. Todung Mulya Lubis, Harvard Law School, LLM 1988
5. Dini Purwono, Fulbright Scholar, Harvard Law School, LLM
2002
6. Melli Darsa, Harvard Law School: LLM 1994, East Asian
Legal Studies Visiting Scholar 2010
7. Nona Pooroe Utomo, Fulbright Scholar, Harvard Graduate
School of Education, Ed.M 1992
8. Ali Kusno Fusin, Harvard Business School, OPM 2016
9. Gatot Soemartono, Harvard Law School, LLM 1997
10. Nugroho Budi Satrio Sukamdani, Post Graduate Harvard
Business School PGL1, 1998
11. Ludi Mahadi, Harvard Kennedy School, MPA 2010
12. Adrianus Waworuntu, Fulbright Scholar, Harvard Graduate
School of Arts and Sciences, MA 1992
13. MSM Ondi Panggabean, Harvard Law School, LLM 1991
14. Philip S. Purnama, Harvard Business School, MBA 1997
15. Endy Bayuni, Nieman Fellow 2004, Harvard University
16. Danny I. Yatim, Fulbright Scholar, Harvard Graduate
School of Education, Ed.M 1992
17. Togi Pangaribuan, Harvard Law School, LLM 2011
18. Zenin Adrian, Harvard Graduate School of Design, M.Arch
2007
19. Darwin Silalahi, Harvard Business School, AMP 2003
20. Wawan Mulyawan, Harvard Business School, OPM28 1999
21. Brigitta Aryanti, Harvard Kennedy School, MPAID 2014
22. Wahyu Dhyatmika, Nieman Fellow 2015, Harvard University
23. Junaidi, Harvard Business School, MBA 2008
24. Johannes Ardiant, Harvard Kennedy School, MPP 2015
25. Paul W. Broto, Harvard Business School, OPM43 2008
26. Rudy Setiawan, Harvard Business School, MBA 1996
Di sisi lain, ada tuntutan agar hakim memberi vonis berat
kepada Ahok. Tuntutan itu disuarakan Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF).
GNPF berencana mendatangi gedung Mahkamah Agung dalam aksi 5
Mei besok. Massa akan meminta independensi hakim menjelang vonis perkara
penistaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Massa akan melaksanakan salat Jumat di Masjid Istiqlal, kemudian melakukan long
march menuju gedung MA.
Loading...