Beritaindonesia.co - Saya geli setiap berkicau terkait Anies-Sandi di twitter
selalu dimention "ayo move on" oleh pendukung Anies-Sandi.
Saya tidak paham apa maksud "move on" itu?
Istilah "move on" untuk para pendukung Ahok-Djarot
seperti halnya saya, adalah ajakan yang terlalu dini. Karena Ahok-Djarot masih
menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI sampai Oktober nanti.
Kalau ajakan "move on" dilayangkan pada para
pendukung Ahok-Djarot saat itu nanti masih rada nyambung, tapi karena
Ahok-Djarot masih menjabat sampai Oktober, yang berarti 5 bulan lagi, ajakan
"move on" masih belum waktunya, seperti halnya beberapa pendukung
Anies-Sandi yang sudah memasang foto Anies-Sandi dengan pakaiaan dan topi dinas
gubernur dan wakil gubernur DKI.
Kalau yang dimaksud "move on" adalah ajakan untuk
menerima kemenangan Anies-Sandi juga tidak tepat. Sejak versi hitung cepat saya
sendiri sudah mengucapkan selamat, demikian pula pendukung Ahok-Djarot yang
lain, tidak ada yang membantah dan menggugat hasil Pilkada DKI.
Sikap kami berbeda dengan pendukung Prabowo--yang sekarang
mendukung Anies-Sandi--pada tahun 2014 yang sudah mengklem sebagai presiden,
padahal versi hitung cepat dari lembaga-lembaga kredibel menunjukkan
pemenangnya adalah Jokowi.
Saat itu, Prabowo merima banyak karangan bunga sebagai
ucapan selamat menjadi presiden dan langsung sujud sukur di aspalan depan rumah
keluarga Prabowo di Kebayoran Baru. Maka pertanyannya yang bisa saya ajukan ke
pendukung Anies-Sandi (dan Prabowo) sekarang adalah: adakah pendukung
Ahok-Djarot sekarang yang bersikap seperti Prabowo dan pendukungnya setelah
Pilpres 2014 lalu?
Namun intinya bagi saya ajakan untuk "move on"
dari Ahok-Djarot merupakan ajakan yang tidak pernah tepat, kecuali ada alasan
yang akan saya jelaskan nanti.
Sampai Ahok-Djarot turun jabatan pun saya menolak "move
on" dari Ahok-Djarot, alasannya bukan emosional, bukan seperti pasangan
yang baru putus dari pacaran yang harus menerima kehidupan baru.
Saya punya alasan rasional untuk menolak "move on"
dari Ahok-Djarot. Bagi saya Ahok-Djarot sudah menjadi standar dan ukuran bagi
pelayanan publik yang baik di Jakarta yang bersih, transparan dan proesional.
Benar bahwa elektabilitas Ahok-Djarot 42%, namun fakta yang tak bisa dibantah
kepuasan publik Jakarta terhadap pelayanan Ahok-Djarot lebih dari 70-75%.
Artinya mayoritas publik Jakarta puas dengan pelayanan
Ahok-Djarot namun soal pilihan menjadi kendala yang lain. Hal ini bisa dibaca
bagaimana kampanye hitam yang terkait isu SARA, dari politisasi ayat, masjid
dan mayat sangat menonjol dan dominan dalam Pilkada DKI. Pasangan Ahok-Djarot
yang bekerja dan melayani serta memuaskan mayoritas warga Jakarta namun tidak
terpilih karena ditakut-takuti dengan ancaman neraka dan dijauhkan dari surga.
Ahok-Djarot telah melayani warga Jakarta baik yang dalam
kandungan, sejak lahiran, buaian, pertumbuhan, pendidikan, tempat bermain dan
kesehatan, dilanjutkan pada pekerjaan, pernikahan, hingga kematian dan liang
lahatnya---namun ada yang tidak bisa dipastikan oleh pasangan Ahok-Djarot soal
surga dan neraka.
Namun, inilah kenyataan pahit yang harus diterima sembari
tetap menguji tingkat kecerdasan pemilih kita, apakah nantinya akan tetap pada
pilihan emosional seperti dalam Pilkada DKI yang baru usai, atau mulai
memikirkan kembali hal-hal yang rasional agar kualitas demokrasi kita terus
meningkat dan tidak perlu ditakut-takuti dengan ancaman dan politisasi SARA.
Kalau saja Ahok-Djarot yang terpilih "hanya"
dengan 42% suara bisa memuaskan publik Jakarta sampai 70-75%, harusnya
Anies-Sandi bisa lebih tinggi dari itu.
Kalau Anies-Sandi bisa bekerja dan melayani lebih baik dari
Ahok-Djarot dan menerima kepuasan publik lebih tinggi dari Ahok-Djarot, saya
mungkin bisa "move on" dari Ahok-Djarot.
Kalau tidak bisa lebih baik dari Ahok-Djarot, maka bukan
fenomena "move on" yang bisa mengemuka, tapi malah "CLBK".
Belum menjabat, Sandiaga sudah berkomentar aneh-aneh mau
menerbitkan Kartu Jakarta Jomblo dan menyediakan ruang ta'aruf di RPTRA yang
tak pernah ada dalam janji kampanyenya, sedangkan janji Program Rumah DP 0 yang
menjadi janji utama kampanyenya masih misterius, di manakah lokasinya?
Sandiaga yang komentar parkir meteran dengan alasan yang
pandir karena menurutnya tidak sesuai dengan budaya kita juga sangat aneh dan
lucu, apakah yang disebut budaya kita itu parkir yang menjadi jatah preman
jalanan yang dikendalikan oleh ormas gadungan?
Jangan-jangan seperti kawan saya bilang, ajakan "move
on" dari pendukung Anies-Sandi pada pendukung Ahok-Djarot hanya untuk
mengejek dengan tujuan membungkam agar pendukung Ahok-Djarot agar tidak
berkomentar terhadap pernyataan aneh-aneh Anies-Sandi.
Saya malah setuju pendapat Pak Jusuf Kalla yang menasehati
Anies-Sandi agar segera belajar memimpin Jakarta, bukan malah bikin pernyataan
yang aneh-aneh.
Kalau pernyataan dan sikap Anies-Sandi masih seperti
sekarang sampai mereka menjabat nanti, saya prediksi pasangan Anies-Sandi hanya
dalam bayang-bayang kesuksesan dan kebesaran Ahok-Djarot.
Walhasil: yang ada bukan ajakan "move on" tapi
malah "CLBK".
Loading...