Beritaindonesia.co - Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur,
Salahudin Wahid mengungkapkan munculnya gejala konflik ke-Indonesiaan dan
ke-Islaman. Salah satunya yang belakangan ini terjadi dalam Pilkada DKI 2017.
Gejala itu terdapat di dua kelompok pendukung pasangan calon
gubernur dan calon wakil gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama- Djarot Saiful
Hidayat dan Anies Baswedan- Sandiaga Uno. Sebab, dari dua kelompok itu muncul
pandangan kalau kelompok yang satu merasa paling Indonesia dan kelompok lainnya
merasa paling Islam.
Yang memilih Ahok- Djarot, lanjut Salahudin, dianggap non
Islam dan munafik. Sedangkan yang memilih Anies-Sandi dianggap anti Indonesia
dan intoleran. Namun, adik Presiden ke-empat RI Abdurrahman Wahid itu
mengatakan, semua pandangan tersebut adalah kekeliruan.
"Anggapan itu sungguh keliru," kata pria yang
kerap disapa Gus Sholah ini, Sabtu (6/5/2017).
Hal tersebut disampaikannya dalam sambutan pada acara
Seminar Pemikiran Hardatus Syaikh KHM Hasyim Asyari, di gedung Nusantara V, MPR
RI, Senayan, Jakarta, dalam tema "Ke-Islaman dan ke-Indonesiaan
Aktualisasi Pemikiran dan Kejuangan Hadratus Syaikh KHM Hasyim Asyari".
Gus Sholah menyebutkan, kalaupun ada pandangan seperti itu,
tidak boleh sampai diucapkan. Apalagi, menghakimin sesamanya. "Anggapan
itu cukup diri kita sendiri tapi tidak boleh diucapkan untuk menghakimi orang
lain," ujar Salahudin.
Pertentangan yang muncul, lanjut dia, sebenarnya bukan
antara umat Islam dan non muslim. Malahan terjadi di antara umat Islam sendiri,
antara yang mendukung mencalonkan pemimpin non muslim dan yang menolak.
Hal itu, lanjut dia, terjadi karena perbedaan pandangan
masing-masing kelompok tentang penafsiran surat Al Maidah ayat 51.
"Sejauh pengamatan saya banyak muslim setuju bahwa
mereka tidak boleh milih non muslim," ujarnya.
Namun, Gus Sholah menyayangkan terjadinya perbedaan antar
dua kelompok tersebut. Padahal, kedua pihak harusnya saling menghormati pilihan
dan pendapat masing-masing.
"Tidak perlu saling salahkan, serang, atau ejek.
Pilkada terjadi di banyak tempat tapi tidak pernah terjadi konflik tajam
seperti Pilkada DKI," sebutnya.
Ia melihat hal ini memang ada pemicunya yakni ucapan Ahok.
Namun, Gus Sholah tidak menyebut ucapan mana yang memicu pertentangan kedua
kelompok tadi.
"Karakter itu dipicu tindakan dan perilaku Gubernur
Basuki Tjahaja Purnama yang sering tidak bisa mengendalikan diri dalam
berbicara dan juga dipicu Polri yang dianggap dikalangan Islam tidak adil dan
memihak," kata dia.
Gus Solah menilai, kedua kelompok pendukung yang
bertentangan itu bisa duduk bersama, untuk merajut kembali persatuan. Caranya
melalui dialog dengan hati dan kepala yang dingin.
"Perbedaan pandangan antar dua kelompok di atas harus
diselesaikan dalam dialog, tidak bisa diselesaikan dengan unjuk rasa atau
mengirim karangan bunga dalam jumlah banyak," ucapnya.
Tinggal pertanyaannya, sambung dia, siapa yang akan
memprakarsai dialog tersebut, siapa tokoh yang mewakili yang bisa diterima
kedua pihak, dan lainnya. Ia menilai, tempat dialog misalnya bisa dilakukan di
gedung MPR.
"Dialog harus terbuka. Apa yang diinginkan dan tidak
diinginkan kedua kelompok," ujarnya.
Hadir dalam acara ini, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, Menteri
Agama RI Lukman Hakim, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin, dan tokoh
lainnya.
Loading...