Beritaindonesia.co - Keberadaan PT Freeport Indonesia di Tanah Papua menimbulkan
pro dan kontra. Ada pihak yang mendukung keberadaan perusahaan AS tersebut,
namun tak sedikit pula yang menolaknya.
Pro dan kontra keberadaan Freeport kembali mencuat saat
perusahaan tak mau mengikuti aturan pemerintah Jokowi. Salah satunya aturan
pemerintah mengenai perubahan kontrak dari kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha
Pertambangan Khusus dengan tujuan agar perusahaan bisa melakukan ekspor
konsentrat mentah.
Ada tiga opsi yang tidak boleh ditawar lagi oleh raksasa
tambang Amerika Serikat ini. Yaitu, perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK), membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian
(smelter), dan divestasi saham hingga 51 persen. Pemerintah pun berunding
dengan Freeport dalam implementasi aturan tersebut.
"Tiga poin tersebut tidak bisa ditawar dan di
negosiasi. Yang bisa dirundingkan adalah bagaimana implementasinya," ujar
Staf Khusus Menteri ESDM Hadi M Djuraid.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius
Jonan baru saja bertemu dengan CEO Freeport McMoRan Inc. Richard C. Adkerson,
Kamis (4/5). Pertemuan tersebut merupakan yang pertama antara tim perundingan
dari pemerintah dan PT Freeport Indonesia.
"Hari ini kick of meeting yang langsung mendapatkan
pengarahan dari Pak Menteri sebagai bekal perundingan pemerintah dengan PT
Freeport," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM), Teguh Pamudji, Kamis (4/5).
Sesuai kesepakatan bersama antara pemerintah dan PT
Freeport, Tim Perundingan diberi waktu secara keseluruhan untuk mengurusi
hal-hal yang berkaitan dengan negosiasi sampai 10 Oktober. "Kita masih ada
waktu lima bulan. Tapi harapannya pak Menteri, bila bisa diselesaikan dalam 1
atau 2 bulan lebih cepat beri apresiasi pada tim perundingan," katanya.
Setidaknya, ada empat hal yang dibahas dalam pertemuan
tersebut yaitu stabilitas investasi, aturan fiskal dan divestasi, kelangsungan
operasi setelah 2021 dan pembangunan smelter. "Keempat substansi
pembahasan ini harus dilaksanakan satu paket, ini yang menjadi bekal kami
berdasarkan arahan dari pak Menteri," ungkapnya.
Dalam kondisi ini, beberapa pihak meminta agar pemerintah
mengusir Freeport dari Papua. Silakan klik selanjutnya.
Sekelompok masa berjumlah 50-an orang yang mengatasnamakan
Masyarakat Adat Independen menggelar demonstrasi di Bundaran Timika Indah,
jalan Budi Utomo, Timika, Papua, Senin (20/3) lalu. Mereka menuntut agar PT
Freeport Indonesia segera ditutup.
Juru bicara demonstran, Vinsen Oniyoma mengatakan,
kekisruhan antara pemerintah dan PT Freeport telah berdampak luas pada dunia,
Indonesia, Papua dan Kabupaten Mimika.
"Hal tersebut membuat munculnya banyak persepsi dan
kepentingan di kalangan elit nasional Indonesia sampai ke Papua di mana mereka
tidak pernah berbicara tentang situasi yang sebenarnya terjadi di masyarakat
akar rumput yang mengalami dampak langsung dari keberadaan PT Freeport,"
katanya seperti ditulis Antara.
Dia mengatakan, sejak masuknya Freeport di Timika yang
mendapat legalitas dari undang-undang penanaman modal asing pertama tahun 1967
di Indonesia, tidak pernah melibatkan dan menghargai hak-hak masyarakat adat
dua suku besar Amungme dan Kamoro sebagai pemilik hak ulayat.
Ketika kesadaran masyarakat adat muncul dengan aksi
masyarakat pada tahun 1996 di Timika yang mengorbankan nyawa manusia dan materi
barulah dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang disebut dana satu
persen itu diturunkan untuk menutupi pelanggaran yang di lakukan PT Freeport
kepada masyarakat sekian tahun lamanya.
Selain itu, pelanggaran-pelanggaran kerusakan lingkungan
akibat limbah, pelanggaran HAM, konflik sosial dan rusaknya tatanan hidup
masyarakat yang sampai saat ini masih dirasakan meninggalkan goresan luka di
hati masyarakat adat.
"CSR atau dana satu persen yang diberikan pun tidak
membuahkan kesejahteraan melainkan menimbulkan konflik internal di kalangan
masyarakat akar rumput dikarenakan para elit manfaatkan untuk kepentingannya
sementara masyarakat akar rumput tidak pernah merasakan dampak CRS itu sendiri
hingga saat ini," tuturnya.
Untuk itu, atas nama Masyarakat Adat Independen mereka
mengambil sikap dengan tegas dan menuntut agar Freeport segera ditutup,
kekayaan Freeport harus diaudit oleh badan independen.
Selain itu mereka juga menuntut agar Freeport wajib membayar
upah dan pesangon pekerja yang telah dirumahkan dan yang telah di-PHK sesuai
ketentuan yang berlaku.
Mereka juga meminta agar Freeport dan Pemerintah lndonesia
bertanggung jawab mengembalikan kerugian alam yang sudah dirusak dan membiarkan
masyarakat yang menentukan masa depan pertambangan di Timika.
Namun demikian, keberadaan Freeport di Papua cukup memberi
pengaruh ke ekonomi Indonesia. Berbagai bukti terungkap bahwa ekonomi Indonesia
bergantung pada Freeport. Silakan klik selanjutnya.
Loading...