Beritaindonesia.co - Kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan di Kalimantan
Timur (Kaltim) ibarat fenomena gunung es. Kasusnya banyak yang tidak muncul ke
permukaan dan berakhir dengan perdamaian.
Kejahatan seperti ini semakin subur di tengah masyarakat
yang belum peka pada persoalan di mana anak dan perempuan menjadi sering jadi
korban.
"Kasusnya sangat banyak di Kaltim ini, bahkan
Balikpapan yang konon kota layak huni saja ada banyak kasus tapi tidak muncul
ke permukaan," kata Mei Christy, inisiator komunitas Save Our Sister,
Senin (24/4/2017).
SOS merupakan komunitas para perempuan yang aktif memberi
pendampingan, perlindungan dan pengembangan kapasitas pada perempuan dan anak
di Kalimantan.
Terbentuk di 2015, SOS telah mendampingi sejumlah korban
Kaltim yang ingin mendapat keadilan lewat jalur hukum.
Para korban kejahatan seksual itu, antara lain 5 orang di
Balikpapan, 2 di Samarinda, dan 2 lagi di Kutai Barat.
"Dari para korban yang kami dampingi, semua pelaku
kasus kejahatan di Balikpapan sudah berakhir di penjara. Sedangkan yang lain
(Samarinda dan Kubar) berakhir damai," kata Mei Christy.
Menurutnya, akhir damai tidak menyelesaikan masalah. Terlebih
bila menilik latar belakang para korban yang kebanyakan perempuan di bawah umur
dengan usia rata-rata antara 6 hingga 13 tahun.
SOS mendampingi kasus yang semua pelakunya kebanyakan orang
terdekat dari korban, kerabat, bahkan keluarga sendiri.
Dengan perdamaian, pelaku kejahatan berarti masih ada di
sekitar korban dan akan terus menimbulkan trauma.
Ia mencontohkan, SOS pernah mengawal perjuangan seorang ibu
di Kutai Barat menuntut keadilan karena anaknya mengalami perkosaan.
Miris, pelaku perkosaan rupanya adalah kakek, paman, dan
ayah kandung sendiri. Kasus itu berakhir denan perdamaian.
"Pelaku adalah orang terpandang dan sekarang masih
berkeliaran (bertemu dengan korban). Kami menangani ini di 2016 awal. Kasusnya
berakhir damai," kata Mei Christy.
Kasus kejahatan berakhir damai juga terjadi di Samarinda.
"Korbannya anak lima tahun dan seorang ibu rumah tangga yang ditusuk pakai
tusuk sate pada alat vitalnya," katanya.
Tidak sedikit perdamaian itu, kata Mei, terjadi setelah
masuk ke meja aparat kepolisian maupun organisasi-organisasi bentukan
pemerintah. Beberapa faktor dijadikan alasan, yaknih aib, minim saksi dan
bukti, atau cukup dengan ganti rugi.
Mei mengatakan, perdamaian justru tidak memberi rasa adil
pada korban. Belum lagi, masa depan korban biasanya hancur sejak jadi korban
kejahatan seksual.
"Rata-rata 60 persen mending mati dan 40 persen
mengalami perubahan karakter. Misal, sangat menyukai perbuatan (seks) ini. Bila
demikian akan sulit bisa diperbaiki," kata Mei
Ada 1.200 Laporan
Komisi Nasional Perlindungan Anak menilai kejahatan seksual
yang terjadi pada anak dan perempuan di Kaltim sudah sampai pada tahap
mengawatirkan. Fenomena gunung es sudah tampak.
Arist Merdeka Sirait mengungkapkan, Komnas PA mencatat ada
lebih dari 1.200 kejahatan pada anak di Kaltim sepanjang 2015-2016.
Jumlah itu menempatkan Kaltim dalam ranking 13 dari 34
provinsi di Indonesia, sebagai provinsi dengan laporan kekerasanyang cukup
banyak pada anak. Urutan itu setelah setelah DKI Jakarta, NTB, Papua dan Papua
Barat yang ada di urutan 11.
"Kejahatan seksual pada anak sebanyak 52 persen dari
1.200 laporan di Kaltim," katanya pada kesempatan yang berbeda.
Banyaknya laporan kejahatan menunjukkan penyelesaian
kasusnya tidak signifikan dan aparat dan pemerintah dinilai lemah dalam
menegakkan hukum. Akibatnya si pelaku kejahatan kerap ditemui bebas
berkeliaran.
Ia berharap, kepolisian dan pemerintah daerah, serta banyak
lagi organisasi pemerhati sosial, bisa berbenah dan membantu terwujudnya
keadilan bagi korban. Jangan kasus baru serius diproses hukum ketika menyita
perhatian publik lewat media massa.
Kalimantan dengan luas daerah dan sebaran penduduk hingga ke
pelosok, tentu membutuhkan perhatian lebih.
Akan sangat sulit memberi pendampingan maupun pengobatan
pada korban bila tidak ada ketegasan dari aparat polisi maupun pemerintah
daerah untuk menangani kasus kejahatan seksual yang tinggi seperti ini.
"Kita mengharapkan tidak ada lagi kasus yang berhenti
di satu titik," kata Arist.
Loading...