Beritaindonesia.co - Hakim konstitusi Maria Farida Indrati meminta pemerintah
untuk serius melihat permasalahan pengosongan kolom agama terhadap Penghayat
Kepercayaan. Menurut Maria, permasalahan itu jangan dipandang sebatas urusan
administrasi belaka.
"Ya, saya rasa untuk Pemerintah juga. Bahwa kalau itu
hanya suatu implementasi dan kemudian harus mengatakan dikosongkan dan
sebagainya, tidak akan mungkin ada permohonan seperti ini," kata Maria
sebagaimana dikutip detikcom dari website Mahkamah Konstitusi (MK), Minggu (7/5/2017).
Hakim Konstitusi: Aliran Kepercayaan Ada Sebelum Agama
DatangProf Dr Maria Faria Indrati (ari/detikcom)
"Karena dalam kenyataannya memang aliran kepercayaan
itu ada dan itu ada sebelum agama-agama itu datang sehingga kita harus juga
melihat bahwa kenyataan itu ada, mereka ada," sambung guru besar
Universitas Indonesia (UI) itu.
Sebab, dengan tidak dituliskannya 'agama' mereka ke dalam
kolom agama, maka mereka dicap masyarakat sebagai orang yang tidak beragama.
Padahal, dalam kenyatannya 'agama' itu ada.
"Saya berasal dari Solo, di mana banyak teman-teman
saya, saudara saya yang memang mempunyai adat kepercayaan yang seperti
itu," cerita Maria.
Menurut Maria, pengosongan kolom agama di KTP bukan
semata-mata implementasi norma. Maria mengajak mellihat masalah itu sebagai
masalah serius, masalah hak asasi yang harus diterima negara.
"Tapi, kita harus mengatakan bahwa kenyataan itu ada
dan para penghayat itu ada, sehingga kita juga harus menerima mereka. Bagaimana
kita kemudian menerima mereka sebagai orang yang kemudian mempunyai hak asasi
juga untuk diterima dalam negara ini," papar Maria.
Orang asli Indonesia, sebelum kedatangan agama.
(edy/detikcom)Orang asli Indonesia, sebelum kedatangan agama. (edy/detikcom)
"Jadi, jangan kemudian langsung mengatakan 'Oh, kalau
tidak 6 agama itu, kemudian harus dicoret, terus dia masuk yang di mana?'
Karena ini dalam kenyataannya memang terjadi," sambung Maria.
Maria mencontohkan salah satu dampak pengosongan kolom agama
di KTP yaitu perkawinan tidak terdaftar, akibatnya anak-anak mereka tidak
mempunyai akta kelahiran. Tanpa akta kelahiran, maka berdampak sistemik.
"Kalau itu hanya implementasi norma, mungkin tidak akan
terjadi permohonan ini. Saya rasa, ini kita perlu tidak hanya ke Departemen
Agama, tapi juga ke Kementerian Pendidikan, di mana kemudian hal-hal ini
menjadi ranahnya kementerian-kementerian yang lain. Saya rasa itu," ujar
Maria dalam sidang yang digelar pada 6 Desember 2016.
Sidang gugatan itu atas permohonan Nggay Mehang Tana, Pagar
Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. Mereka menggugat Pasal 61 Ayat 1 dan
Ayat 2 UU Administrasi Kependudukan ke MK. Pasal tersebut berbunyi:
Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak
diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.
Dengan pasal di atas, maka Penghayat Kepercayaan tidak
tertulis dalam kolom agama di KTP. Dampaknya, para penggugat mengaku
mendapatkan diskriminasi dari negara.
Loading...