Beritaindonesia.co - Para Penghayat Keyakinan merasa terdiskriminasi karena kolom
agama di KTP-nya harus dikosongkan. Atas hal itu, mereka mengajukan gugatan
aturan terkait ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Sungguh ironis di negara kita Republik Indonesia
tercinta bahwa hanya sistem keyakinan yang datang dari luar Nusantara saja yang
dikategorikan sebagai agama. Sedangkan sistem keyakinan yang berasal dari
berasal dan lahir dari bumi pertiwi, tidak diakui sebagai agama," ujar
Suprih Suhartono sebagaimana dikutip dari website MK, Minggu (7/5/2017).
Menurut Suprih, agama diakui sebagai sistem keyakinan yang
berasal dari luar sedangkan sistem keyakinan lokal nusantara yang sesungguhnya
adalah pemiliknya, tidak diperbolehkan menggunakan frasa agama. Keyakinan
Suprih dkk diganti menjadi aliran kebatinan, atau kerohanian, atau kejiwaan.
Kemudian disebut aliran kepercayaan atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
"Padahal frasa agama sebagaimana frasa trigama,
adhigama, parigama, duhagama, gurugama, kertagama, dan lain-lain adalah frasa
asli bahasa Nusantara," sambung Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) itu.
MLKI: Sungguh Ironis! Keyakinan dari Luar Diakui Agama, Kami
TidakIlustrasi (edy/detikcom)
MLKI meminta MK tidak menafikan para Penghayat Kepercayaan
dalam proses bernegara karena ikut mendorong kemerdekaan Indonesia.
"Di zaman perjuangan kemerdekaan hingga periode awal
Orde Lama, masyarakat penganut kepercayaan berkembang dengan baik dan turut
berkontribusi dalam proses perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan, serta
mengisi kemerdekaan," ujar Suprih.
Sungguh ironis, sistem keyakinan yang berasal dan lahir dari
bumi pertiwi, tidak diakui sebagai agama,
Namun ketika DI/TII berkembang tahun 1950-an, banyak dari
masyarakat penghayat kepercayaan yang menjadi korban karena dituduh tidak
beragama atau kafir.
"Menginjak zaman Orde Baru pada awalnya banyak dari
masyarakat penghayat yang jadi korban karena tuduhan PKI," tutur Suprih.
Kemudian mulai 1973, Penghayat memperoleh perbaikan
pelayanan dan disejajarkan dengan agama. Pada masa itu, boleh dicantumkan frasa
kepercayaan pada kolom agama di KTP dan masyarakat penghayat boleh
melangsungkan perkawinan tanpa harus melalui salah satu dari 5 agama ketika
itu. Dapat menjadi PNS dan disediakan juga ucapan sumpah jabatan bagi
penghayat.
"Namun kemerdekaan ini tidak berlangsung lama karena
mulai tahun 1978, hak-hak tersebut mulai dipreteli atau diamputasi. Mulai dari
identitas di KTP, pencabutan hak-hak perkawinan secara kepercayaan, dan
lain-lain sehingga para penghayat kepercayaan harus mencatumkan salah satu
agama dari 5 agama yang tidak diyakini kalau tidak ingin didiskriminasi atau
dikucilkan," papar Suprih.
Pascareformasi, Penghayat Kepercayaan masih didiskriminasi
yaitu tidak boleh mencantumkan keyakinannya di kolom agama pada KTP. Kolom
agama dibiarkan kosong.
"Sehingga berdampak hilangnya hak-hak para penghayat
atau adanya kekosongan hukum bagi penghayat," kata Suprih.
Dalam sidang terakhir, Ketua MK Arief Hidayat juga
melontarkan pertanyaan retoris. Guru besar Universitas Diponegoro (Undip)
Semarang itu menilai ada yang janggal dengan cara pandang ke-Indonesia-an
terhadap pengakuan terhadap agama.
"PNPS mengakui ada agama resmi. Kemudian, ada dari
sekelompok yang asli mengatakan, 'Lho, yang berasal dari asing malah diakui'.
Kan kita tahu semua, yang keenam keyakinan atau agama itu kan asing sebetulnya,
kalau kita mau jujur, dari yang asing diakui, tapi kalau agama leluhur yang
genuine yang asli Indonesia kenapa tidak diakui?" kata Arief.
Loading...