Beritaindonesia.co - Kasus penistaan agama yang membelit Gubernur DKI Jakarta
Basuki T Purnama ( Ahok) akan memasuki tahap akhir. Pengadilan Negeri Jakarta
Utara akan melakukan vonis terhadap Ahok pada Selasa 9 Mei besok.
Kasus ini berawal saat Ahok berkunjung ke Kepulauan Seribu.
Dalam kunjungannya pada akhir September 2016 lalu, Ahok menyingung surah Al
Maidah ayat 51 yang kerap dibawa dalam pertarungan politik kepala daerah.
Malapetaka bagi Ahok, ucapan tersebut dilaporkan ke polisi.
Hingga berujung pada meja hijau bagi mantan Bupati Belitung Timur itu. Ahok
didakwa Pasal 156 KUHP dan 156a.
Jaksa Penuntut Umum beberapa waktu lalu menuntut Ahok dengan
satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan. Tuntutan ini bahkan sempat
diprotes oleh sejumlah massa yang bernamakan diri sebagai GNPF-MUI dengan
berdemonstrasi di depan gedung Mahkamah Agung (MA) pada Jumat 5 Mei kemarin.
Nasib Ahok kini berada di palu hakim pengadilan. Pro kontra
tentang tuntutan Ahok masih terjadi. Bahkan sebelum putusan, hakim pun diminta
lebih berat menghukum Ahok.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Teuku
Nasrullah mengatakan, tuntutan jaksa tersebut bisa saja berbeda dengan vonis
yang akan dijatuhkan oleh hakim kepada Ahok pada sidang dengan agenda vonis
besok.
Nasrullah menyebutkan, vonis hakim tidak mutlak harus sama
dengan tuntutan jaksa. Apalagi, kata dia, kasus yang menimpa Ahok bisa menjadi
dualisme penegakkan hukum dimana hakim bisa saja menganggap Ahok telah
melanggar pasal yang lain.
"Hakim bisa saja menuntut beda dengan jaksa, bahkan dua
hal yang boleh dilakukan oleh hakim karena dakwaanya alternatif, walaupun jaksa
menuntut yang Pasal 156, hakim bisa saja mengatakan yang terbukti Pasal 156
a," kata Nasrullah, kepada merdeka.com, Minggu (7/5).
Nasrullah menjelaskan, meski jaksa hanya menuntut penjara
satu tahun dengan masa percobaan merujuk pada Pasal 156, ada kemungkinan hakim
menjatuhkan vonis lima tahun penjara dan menganggap Ahok terbukti melanggar
Pasal 156 a dan dengan merujuk pada fakta-fakta persidangan.
Nasrullah mengungkapkan, sejauh ini, kasus-kasus serupa yang
terjadi pada masa yang lampau, semua terdakwa dikenai Pasal 156a dengan vonis hukuman
empat sampai lima tahun penjara.
"Tiba-tiba sekarang ini dalam kasus Ahok ada perubahan
politik penegakkan hukum. Yang dulu dianggap pidana, sekarang tidak dianggap
pidana, padahal UU belum berubah, UU yang digunakan masih sama," ungkap
Nasrullah.
Nasrullah menilai, ada dua kemungkinan kenapa pemerintahan
sekarang tidak setegas dulu dalam menangani kasus dugaan penistaan agama.
Pertama, karena faktor kemajuan zaman dimana orang semakin bebas mengutarakan
pendapatnya sehingga pemerintah tidak ingin dianggap mengekang kebebasan. Pada
akhirnya, pemerintah menganggap tindakan sejenis yang dilakukan oleh Ahok bukan
termasuk pidana lagi.
"Yang kedua, berarti hukum yang dulu salah, ada
peradilan sesat," ujar Nasrullah.
Jika hukuman Ahok nanti hanya satu tahun, maka Nasrullah
menyatakan, para terdakwa penista agama di masa lampau harus direhab ulang agar
tidak menimbulkan dualisme penegakkan hukum.
"Di satu sisi orang yang sama (pelanggarannya) dihukum,
di sisi lain orang lain dengan perbuatan yang sama tidak dihukum (dengan vonis
yang sama). Ada perbedaan-perbedaan perlakuan di mata hukum," terang
Nasrullah.
Kasus penistaan agama sempat menimpa Penulis dan wartawan
Arswendo Atmowiloto pada tahun 1990 lalu. Kala itu, Arswendo lakukan survei
dengan lebih 33.000 kartu pos dari pembaca.
Dalam survei tokoh pilihan pembaca tersebut, Presiden
Soeharto kala itu berada di tempat pertama, sementara Nabi Muhammad di urutan
ke-11.
Nasrullah menyerahkan sepenuhnya kasus Ahok kepada hakim.
Harapannya, hakim bisa memberikan vonis yang seadil-adilnya tanpa ada
intervensi dari pihak manapun.
"Kalau ada intervensi, bisa bahaya negara kita ini.
Sampai kapan kita membiarkan negara kita hukumnya tidak bisa dipegang? Hari ini
A, besok B. Negara harus tegas dan tepat, kalaupun ada perubahan, harus berlaku
untuk semua warga negara," pungkas Nasrullah.
Loading...